BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa
ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang anak dalam berolah
sistem maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu, lembaga pendidikan
tidak hanya sebagai wahana untuk sistem bekal ilmu pengetahuan, namun juga
sebagai lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup yang nanti di
harapkan dapat bermanfaat didalam masyarakat.
Lembaga
pendidikan tidak hanya ditunjukkan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik,
tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka di anggap
sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan dikasihani untuk mengatasi
permasalahan tersebut perlu disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau
sekolah bagi mereka. Pada dasarnya pendidikan untuk berkebutuhan khusus sama
dengan pendidikan anak-anak pada umumnya.
Disamping
itu pendidikan luar biasa, tidak hanya bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus,
tetapi juga ditujukan kepada anak-anak normal pada umumnya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembeajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks
menuntut penanganan untuk meningkatkan kualitasnya, baik yang bersifat
menyeluruh maupun pada beberapa komponen tertentu saja. Pendidikan Luar
Biasa adalah merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pedidikan
luar biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu system pemberian
layanan yang kompleks dalam memebantu individu untuk mencapai potensinya secara
maksimal.pendidikan luar biasa di ibaratkan sebagai sebuah kendaraan dimana
siswa penyandang cacat,meskipun berada di sekolah umum, diberi garansi untuk
mendapatkan pendidikan yang secara khusus di rancang untuk membantu mereka
mencapai potensi yang maksimal. Pendidikan luar biasa tidak di batasi oleh
tempat umum pemikiran kontemporer menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan
dilngkungan yang lebih alami dan normal yang sesuai dengan kebutuhan
anak.individu-individu penyandag cacat hendaknya dipandang sebagai individu
yang sama bukannya berbeda dari teman–teman sebaya lainnya dan yang harus di
ingat bahwa pandanglah mereka sebagai pribadi bukan kecacatannya.
Maka dari itu, kami membuat
makalah ini sebagai penunjang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan yang
terkhusus ke “Pendidikan Anak Luar Biasa
dalam Profesi Kependidikan”.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan
pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yakni
sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan anak luar biasa?
2. Bagaimana
konsep dasar ortopedagogik?
3. Apa
landasan dan bagaimana perkembangan pendidikan anak luar biasa?
4. Bagaimanakah
kecenderungan baru pendidikan anak luar biasa?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan beberapa rumusan masalah yang diajukan
oleh penulis dalam bagian sebelumnya, maka dapat diperoleh tujuan penulisan
dari makalah ini, yakni sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui tentang anak luar biasa.
2.
Untuk mengetahui konsep dasar
ortopedagogik.
3.
Untuk mengetahui landasan dan
perkembangan pendidikan anak luar biasa.
4.
Untuk mengetahui kecenderungan baru pendidikan
anak luar biasa.
D. Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini ialah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa
dapat mengetahui mengenai:
a. Anak
luar biasa.
b. Konsep
dasar ortopedagogik.
c. Landasan
dan perkembangan pendidikan anak luar biasa.
d. Kecenderungan
baru pendidikan anak luar biasa.
2. Pembaca
dapat mengetahui hal yang serupa dengan mahasiswa guna meningkatkan.
3.
Sebagai bahan referensi makalah Profesi
Keguruan untuk dosen maupun mahasiswa lain tentang pendidikan anak luar biasa dalam
profesi kependidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Anak Luar Biasa
1.
Pengertian Anak Luar Biasa
Ada
tiga pengertian tentang anak luar biasa yang sering membingunkan, yaitu : (a)
pengertian tentang anak cacat atau anak yang menyandang ketunaan (handicapped
children), (b) pengertian tentang anak luar biasa atau anak berkelainan
(exceptional children), dan (c) pengertian anak berkebutuhan khusus (children
with special need).
Kirk
dan Gallager (1979) mengemukakan defenisi anak luar biasa sebagai anak yang
menyimpan dari rata-rata normal dalam ; karakteristik mental, kemampuan
sensoris, karakteristik neurotic atau fisik, perilaku social atau kemampuan
berkomunikasi, dan gangguan dari variable tersebut (campuran dari hal tersebut).
Bertolak dari defenisi yang dikemukakan oleh Kirk dan Gallager dapat simpulkan
bahwa meskipun anak memiliki penyimpangan, anak tersebut tidak dapat
digolongkan anak luar biasa/berkelainan atau anak berkebutuhan khusus (children
with special need) jika tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus atau
pendidikan luar biasa untuk mengembangkan kapasitas (potensinya) secara
optimum.
2. Klasifikasi
Anak Luar Biasa
Tujuan
dilakukan klasifikasi anak luar biasa bukan untuk memisahkan mereka dari anak
normal tetapi hanya untuk keperluan pembelajaran. Untuk keperluan pembelajaran
Kirk dan Gallager (1979) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima
kelompok yaitu :
a. Kelainan
mental, meliputi anak-anak yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa
tinggi (intellectually superior) dan lambing dalam belajar (mental retarded).
b. Kelainan
sensorik, meliputi anak-anak dengan kerusakan pendengaran dan kerusakan
penglihatan.
c. Gangguan
komunikasi, meliputi anak-anak dengan kesulitan belajar dan gangguan dalam
bicara dan bahasa.
d. Gangguan
perilaku, meliputi gangguan emosional dan ketidaksesuaian perilaku social atau
tunalaras.
e. Tuna
ganda atau cacat berat, meliputi macam-macam kombinasi kecacatan seperti
celebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita dang sebagainya.
Klasifikasi
lain untuk keperluan pembelajaran anak luar biasa dikemukakan oleh Dembo (1981)
seperti berikut :
a. Tunagrahita
/ mental retardation
b. Berkesulitan
belajar / learning disabilities
c. Gangguan
perilaku atau gangguan emosi / behavior disorder
d. Gangguan
bicara dan bahasa
e. Gangguan
pendengaran dan penglihatan
f. Kerusakan
fisik dan gangguan kesehatan
g. Cacat
berat atau cacat ganda
h. Berkecerdasan
luar biasa tinggi atau berbakat
Adapun secara umum berdasarkan
penyandang ketunaan, kelainan anak luar biasa diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Tuna
netra
Tunanetra adalah individu
yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan
kedalam dua golongan yaitu: buta
total (Blind) dan low
vision.
Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau
akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka
proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan
indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam
memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan
harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah
penggunaan tulisan
braille,
gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara
adalah tape
recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu
tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas
diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta
bagaimana menggunakan tongkat
putih (tongkat khusus tunanetra
yang terbuat dari alumunium)
b.
Tuna
rungu/wicara
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu
berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2. Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
3. Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
4. Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki
hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara
sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
Cara berkomunikasi dengan individu menggunakanbahasa
isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan
untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah
sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan
melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu
cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
c.
Tuna
daksa
Tunadaksa adalah
individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah
ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui
terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan
koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan
fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
d.
Tuna
grahita
Tunagrahita adalah
individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah
rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul
dalam masa perkembangan.
klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ.
1. Tunagrahita
ringan (IQ : 51-70),
2. Tunagrahita
sedang (IQ : 36-51),
3. Tunagrahita
berat (IQ : 20-35),
4. Tunagrahita
sangat berat (IQ dibawah 20).
Pembelajaran bagi
individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.
e.
Tuna Laras
Tunalaras
adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol
sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat
disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari
lingkungan sekitar
Selanjutnya diuraikan mengenai
sebab-sebab keluarbiasaan yang terjadi pada anak tersebut. Berdasarkan waktu
kejadiannya, keluarbiasaan dapat terjadi saat prenatal natal dan post natal,
sebagai berikut:
Jenis keluar biasaan
|
Prenatal
|
Natal
|
Post Natal
|
Tuna netra
|
Infeksi maternal, (ibu hamil terserang penyakit rubella atau
campak german)
|
Si ibu hamil menderita penyakit Gonnorhoe, sehingga ketika
si anak lahir matanya tercemari kuman Nisseria Gonnorhoe.
|
Penyakit infeksi seperti Trahoma, Conyungtivitis, Retino
Blastoma, Pertusis.
Defisiensi Vitamin A yang menyebabkan Xeroph-talmia.
Trauma Cavitis yang tepat mengenai syaraf penglihatan, atau
trauma langsung yang membuat mata menjadi buta
|
Tuna rungu wicara
|
Infeksi maternal, yaitu si ibu hamil terserang penyakit
rubella.
Faktor keturunan, prematurity dan Rh incompatibality
|
Proses kelahiran yang tidak spontan (lahir dengan bantuan
alat misalnya forceps atau tang)
|
Penyakit infeksi seperti meningitis, otitis media
|
Tuna daksa
(Cerebral Palsy)
|
Infeksi rubella pada saat ibu hamil.
Translokasi khromosom yang terjadi saat konsepsi.
Keracunan obat-obatan.
|
Kelahiran yang terlalu lama, sehingga kepala anak terjepit
di jalan lahir.
Lahir dengan bantuan alat seperti forceps.
Anoxia.
|
Penyakit infeksi seperti meningitis, enchepalitis atau
meningoenchepalitis.
Trauma Cavitis.
Sedangkan Poliomyelitis disebabkan oleh virus polio.
Sementara itu Disthropia Musculorum Progressiva diduga karena adanya gangguan
metabolisme.
|
Tuna grahita
|
Infeksi rubella ketika ibu hamil.
Trauma waktu mengandung.
Proses pembuahan yang kurang sempurna
|
Kelahiran dengan bantuan tang.
Kekurangan oksigen.
Kelahiran yang terlalu lama
Prematuritas.
|
Penyakit meningitis, encephalitis.
Cedera di kepala.
Keracunan logam timbal.
|
B.
Konsep
Dasar Ortopedagogik
1. Pengertian dan Jenis Ortopedagogik
Secara etimologis Ortopedagogik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari
tiga buah kata, yaitu pertama kata orto, yang berasal dari kata orthos
yang berarti lurus, baik, atau sehat. Kata kedua peda yang berasal
dari kata paeda yang berarti anak; dan yang ketiga agogik yang
berasal dari kata agogos yang berarti pendidikan. Jadi, ortopedagogik
dapat diratikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahas pendidikan yang
diberikan untuk membantu pendidikan anak luar biasa.
Ortopedagogik dapat diartikan
sebagai pendidikan yang bersifat meluruskan, memperbaiki, menyembuhkan, atau
menormalkan anak-anak berkelaian atau anak luar biasa. Dengan kata lain
ortopedagogik adalah ilmu pendidikan bagi anak luar biasa. Ortopedagogik sering
dibagi dua macam, yaitu ortopedagogik umum dan ortopedagogik khusus.
Ortopedagogik umum berkenaan dengan pendidikan bagi anak luar biasa pada
umumnya, sedangkan ortopedagogik khusus berkenaan dengan pendidikan bagi tiap
jenis anak luar biasa tertentu secara rinci seperti pendidikan bagi anak
tunarungu.
Pengelompokan
anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional
Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita:
(a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita
Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita
Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna Grahita
Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences :
Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical,
Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
7. Kesulitan Belajar
(a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis,
Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
8. Lambat Belajar (
IQ = 70 –90 )
9. Autis
10. Indigo
Adapun jenis-jenis
SLB untuk masing-masing kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :
(1) SLB bagian A untuk anak tuna netra
(2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu
(3) SLB bagian C untuk anak tuna
Grahita
(4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa
(5) SLB bagian E untuk anak tuna laras
(6) dan SLB bagian F
untuk anak cacat ganda
2. Ortopedagogik sebagai Aplikasi
Teori-teori Ilmu Lain
Pada mulanya ortopedagogiik bukan merupakan suatu
disiplin ilmu karena hanya aplikasi dari teori-teori disiplin ilmu tertentu,
terutama ilmu kedokteran dan psikologi. Para psikologi, khususnya yang
berkecimpung dalam psikologis klinis, juga menghadapi masalah yang sama dengan
yang dihadapi oleh para dokter. Oleh karena itu, ortopedagogik sebagai teknik
penyembuhan dalam ilmu kedokteran dan psikologi belum dapat dipandang sebagai
suatu disiplin ilmu yang otonom.
3. Ortopedagogik
sebagai Bagian Pedagogik
Bidang telaah atau objek ontologis atau objek forma
ilmu pendidikan atau pedagogic adalah situasi pendidikan anak untuk mencapai
kedewasaan. Ada dua syarat asumsi keilmuan, yaitu harus relevan dengan bidang
dan tujuan suatu disiplin ilmu, dan harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana
adanya dan yang bukan seharusnya. Asumsi tersebut hendaknya merupakan
pernyataan kebenaran secara empiris dan dapat diuji, maka ortopedagogik pada
tahap ini menggunakan analisis keilmuannya tidak lagi berdasarkan asumsi ilmu kedokteran
dan psikologi juga sikologi tetapi menggunakan asumsi dalam ilmu pendidikan
atau pedagogic, yaitu manusia sebagai mahlukk yang harus dan dapat dididik atau
animal educandum.
4. Ortopedagogik
sebagai Disiplin Ilmu yang Otonom
Adapun persyaratan untuk menjadi diisiplin ilmu yang
otonom tersebut sudah ada, yaitu adanya bidang telaah khusus atau objek
ontologis berupa situasi pendidikan anak luar biasa. Penegasan dikemukakan oleh
Gelder (1988) bahwa objek ontologis dari ortopedagogik adalah situasi pendidikan
dari anak yang memiliki hambatan dalam mencapai kedewasaan. Kedewasaan yang
dimaksud, bukan hanya kedewasaan biologis tetapi juga kedewasaan mental dan
moral social.
5. Ilmu-ilmu
Penunjang Ortopedagogik
Ilmu penunjang ortopedagogik adalah disiplin ilmu yang
memungkinkan untuk menjalin kerja sama multidipliner dengan ortopedagogik dalam
memecahkan masalah pendidikan anak luar biasa. Melalui pendekatan
multidisipliner analisis masalah pendidikan anak luar biasa menjadi lebih tajam
sehingga pemecahan masalah tersebut diharapakan menjadi lebih efektif.
C.
Landasan
dan Perkembangan Pendidikan Anak Luar Biasa
1. Landasan
Ada
empat landasan yang menjadi bahasan pada bagian ini, yaitu; (a) landasan idiil
atau filosofis, (b) landasan yuridis formal, (c) landasan religi, dan (d)
landasan empirik.
a. Landasan
idiil atau filosofis
Di negara yang
menganut filsafat Pancasila, pendidikan diorganisasikan untuk mencapai tujuan
akhir eksistensi manusia, yaitu manusia pancasilais sejati. Tujuan tersebut
selaras dengan dasar negara Republik Indonesia, yaitu, (a) Ketuhanan yang
Mahaesa, (b) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (c) persatuan Indonesia, (d)
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan (e) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini menandai
adanya kesamaan manusia, pandangan tersebut telah diterprestasikan sebagai
kesamaan untuk memperoleh kesempatan pendidikan. Pandangan semacam itu mengimplikasikan pemberian kesempatan kepada
semua anak untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, setiap anak, apakah
normal atau luar biasa, berhak memperoleh bantuan dalam pendidikan untuk
mengaktualisasikan potensi-potensi kemanusiaannya. Implikasi dari pandangan itu
pula, sekolah-sekolah telah dimodifikasi dengan menyediakan program-program
bagi anak luar biasa di sekolah-sekolah reguler. Di sekolah-sekolah reguler
pada saat ini telah disusun program pendidikan bukan hanya untuk kepentingan
anak-anak normal tetapi juga untuk anak-anak luar biasa.
b. Landasan
Yuridis Formal
Dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan negara
Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu usaha untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah melalui pendidkan. Dalam UUD 1945 BAB XII
Pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran
dan pada ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan
UUD 1945 tersebut maka hakikatnya tidak terdapat perbedaan hak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran antara warga negara yang normal dan warga negara yang
tergolong luar biasa termasuk yang tergolong cacat.
Bertolak dari
UUD 1945 BAB XII pasal 31 ayat (2) maka disusunlah Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem pendidikan nasional atau yang sering disingkat dengan
USSPN. Dalam USSPN pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa warga negara yang
berkelainan fisik dan atau mental memperoleh pendidkan luar biasa. Pada ayat
(2) disebutkan dinyatakan bahwa warga negara yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. Berdasarkan USPN
pasal 8 tersebut maka turunlah Perturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 pada
pasal 4, dinyatakan bahwa bentuk satuan pendidikan dasar bagi anak berkelainan
adalah SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) dan SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Luar biasa). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Pasal 4 disebutkan
bahwa bentuk satuan pendidkan menengah bagi anak berkelainan adalah SMLB
(Sekolah Menengah Luar Biasa).
Berdasarkan USPN
Pasal 8 ayat (1) maka turunlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang
Pendidikan dinyatakan bahwa Pendidikan Luar Biasa. Dalam PP Nomor 72 Tahun 1991
Bab 1 Ayat (1) dinyatakan bahwa Pendidikan luar biasa adalah pendidikan khusus
yang diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau
mental. Adapun yang dimaksud dengan peserta didik yang menyandang kelainan
fisik dan/atau mental dijelaskan pada Bab III Pasal 3 dari ayat (1) hingga ayat
(5) yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
1) Jenis
kelainan peserta didk terdiri atas kelainan fisik dan/atau mental atau prilaku.
2) Kelainan
fisik meliputi tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
3) Kelainan
mental meliputi tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang.
4) Kelainan
perilaku meliputi tunalaras.
5) Kelainan
peserta didik dapat juga berwujud sebagai kelainan ganda.
Adapun tujuan pendidikan luar biasa tertera pada Bab
II pasal 2 yang dinyatakan bahwa pendidikan luar biasa bertujuan membantu
peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan
sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam
dunia kerja, mengikuti pendidikan lanjutan.
Mengenai bentuk satuan dan lama pendidikan bagi
peserta didik berkelainan tertera pada Bab IV Pasal 4, 5, dan 6. Pada pasal 4
dan pasal 5 dinyatakan bahwa bentuk satuan pendidikan luar biasa dan lama
pendidikan adalah :
1) Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB) sekurang-kurangnya enam tahun.
2) Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Luar biasa (SLTPLB) sekurang-kurangnya selama tiga
tahun.
3) Sekolah
Menengah Luar Biasa (SMLB) sekurang-kurangnya selama tiga tahun.
Disamping tiga bentuk satuan pendidikan yang
dikemukakan diatas. Pada pasal 4 juga disebutkan adanya bentuk lain yang
ditetapkan oleh menteri. Pada pasal 6 dikemukakan bahwa pendidikan prasekolah
satuan pendidikan luar biasa dapat diselenggarakan dalam Taman Kanak-Kanak Luar
Biasa (TKLB) yang lama pendidikannya satu samapi tiga tahun.
Mengenai USPN pasal 8 ayat (2) yang menyatakan bahwa
warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak
memperoleh perhatian khusus. Hingga saat ini belum ada peraturan yang
mengaturnya. Bagaimanapun juga, landasan pendidikan bagi anak berbakat atau
yang dalam USPN disebut warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan
luar biasa telah ada dan perlu dikembangkan.
c. Landasan
Religi
Semua agama
tampaknya sangat menekankan pentingnya pendidikan, termasuk didalamnya
pendidikan bagi anak luar biasa. Di Indonesia cukup banyak lembaga-lembaga
pendidikan yang diselenggarakan atas dasar religi atau agama tertentu. Ada
lembaga pendidikan yang diselenggarakan atas dasar agama Islam, Katholik,
Kristen, dan sebagainya. Tiap-tiap lembaga pendidikan luar biasa meskipun
didirikan atas religi atau agama yang berbeda, tujuannya adalah sama yaitu
berusaha mengaktualisasikan semua potensi kemanusiaan yang ada pada peserta
didik hingga taraf yang optimal secara terintegrasi.
Dalam kitab suci
Agama Islam Alquran, dalam surat Az Zukhruf ayat 32 disebutkan; “mengapa
mereka harus menentukan pemberian rahmat
Tuhanmu, padahal Kamilah yang berwenang membagi-bagikan karunia diantara mereka
dalam hidup ini. Dan Kami pula yang berwenang mengangkat sebagian mereka atas
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain
dalam rangka saling membutuhkan. Namun rahmat Tuhanmu lebih berharga dari harta
yang mereka kumpulkan.” Dan dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 220 disebutkan;
“dan mereka menanyakan pula kepadamu tentang anak yatim, jawablah, memperbaiki
keadaan mereka adalah kebajikan, dan jika kamu bergaul dengan mereka, anggaplah
mereka saudaramu dan Allah mengetahui gerak-gerik hatimu yang hendak berbuat
kerusakan dari yang hendak berbuat kebaikan dalam pergaulan itu. Dan jika Allah
menghendaki, tentu ia akan mendatangkan kesulitan bagimu dan urusan anak yatim
itu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha bijaksana.
d. Landasan
Empirik
Sebagai disiplin
ilmu yang otonom, ortopedagogik melakukan penelitian-penelitian empirik yang
hasilnya digunakan sebagai landasan tindakan-tindakan ortopedagogik. Meskipun
demikian, banyak hasil penelitian empirik dari disiplin ilmu lain yang dapat
digunakan sebagai landasan tindakan ortopedagogik. Hasil-hasil penelitian
tersebut umumnya berasal dari ilmu kedokteran dan biologi atau yang biasa
disebut ilmu-ilmu penunjang ortopedagogik. Pemakaian hasil-hasil penelitian
empirik semacam itu tidak mengurangi otonom suatu disiplin ilmu karena
masing-masing memiliki asumsi dan objek telah berbeda-beda. Hasil penelitian
tentang struktur otak anak berbakat misalnya, dapat digunakan dalam tindakan
ortopedagogis tentang bagaimana memberikan pelayanan pendidikan bagi anak
berbakat. Hasil penelitian psikologis tentang anak autisme dapat digunakan
sebagai landasan dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak luar biasa jenis
autisme tersebut. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian empirik, baik yang
dilakukan oleh ilmuwan ortopedagogik maupun ilmuwan dari disiplin-disiplin ilmu
lain yang menunjang ortopedagogik, dapat digunakan sebagai landasan tindakan
ortopedagogis.
2. Perkembangan Pendidikan Anak Luar
Biasa
Ada
dua perkembangan pendidikan bagi anak luar biasa yang dibahas pada bagian ini,
yaitu perkembangan di dunia dan perkembangan di Indonesia.
a.
Perkembangan di Dunia
Perhatian manusia terhadap pendidikan bagi anak luar
biasa atau anak berkelainan relative masih baru. Penggunaan istilah anak luar
biasa atau berkelainan itu sendiri menurut Kirk (1962) ialah mencerminkan suatu
perubahab radikal. Menurt Amin dan Dwijosumarto (1997) ada tida fase
perkembangan pendidikan bagi anak berkelainan, yaitu (a) fase pengabaian, (b)
fase pemberian perlindungan, (c) fase pemberian pendidikan. Fase pemberian
pendidikan terdiri dari dua sub-fase, yaitu sub-fase pemberianpendidikan secara
terpisah dari anak-anak pada umumnya dan sub-fase pemberian pendidikan secara
terintegrasi dengan anak normal.
Fase pengabaian terhadap anak luar biasa khususnya
yang menyandang ketunaan terjadi pada era sebelum NabviIsa dilahirkan. Pada
zaman Sparta anak ynag menyandang ketunaan di bunuh atau dieksploitasi untuk
dipertunjukkan. Sisa-sisa eksploitasi penyandang ketunaan untuk dipertunjukkan
tersebut masih ada hingga saat ini, terutamaanak-anak yang tergolong kerdil
(kretinisma).
Fase perlindungan terhadap anak ynag menyandang
ketunaan terjadi di era sesudah Nabi Isa dilahirkan. Di Cina, perlindungan bagi
anak yang menyandang ketunaan telah dilakukan sejak zaman Confusius, yang
menganjurkan agar anak yang menyandang ketunaan tetap disebut anak dan tidak
dibedakan dari anak-anak pada ummumnya. (Amin dan Adwijosumarto, 1970). Nabi
Muhammad di Arab telah mempelopori penyantunan bagi oaring-orang miskin dan
memberian perlakuan lemah lembut dan perlindungan bagi penyandang acact ,ental.
nabiMuhammad jug amemrintahkan agar penyandang tunanetra pergi ke masjid
bersama-sam aorang lain ynag awas untuk melakukan sembahyang. Setelah Nabi
Muhammad wafat, Umat Islam di Arab mendirikan rumah sakit yang pertama di Dunia
(Amin dan Dwijosumarto, 1979).
Fase pemberian pendidikan bagi anak luar biasa
dimulai sekitar 1500 masehi. Hingga tahun 1800 Masehi di Amerika Serikat belum
ada lembaga pendidikan bagi anak luar biasa. Pada decade pertama pada abad 19
para pemimpin Amerika Serikat seperti Horce Mann, Samuel Gridley Howe, dan
Dorothea Dix mengerakan penyelenggaraan sekolah berasrama bagi anak tunanetra,
tunarungu, tungrahita, epilepsi, yatim piatu, dan sebagainya seperti yang
terdapat di Eropa. Sekolah- sekolah tersebut memberikan berbagai latihan kepada
penyandang ketunaan , tetapi hal yang paling menonjol adalah pemberian
perlindungan lingkungan sepanjang hidup(Kirk,1962).
Pada tahu 1871 Samuel Gridey Howe, menurut Irwin
(Kirk,1962) telah mampu meramalkan masa depan pendidikan pada ank luar biasa.
Ia telah merasakan bahwa masa depan pendidikan bagi anak luar biasa adalah
integhrasi dengan anak-anak normal di sekolah biasa.
Gerakan pendidikan anak bernakat di Amerika Serikat
didorong oleh keberhasilan Uni Soviet (sekarang Rusia) meluncurkan sputniknya
yang pertama.pada saat iti bangasa Amerika merasa tertantang untuk mengejar
ketinggalannya di bidang ilmu dan teknologi, dan cara ynag dinggap efektif
untuk mengejar ketertinggalan tersebut adalah dengan memberikan pendidikan luar
biasa kepada anak-anak berbakat.
b. Perkembangan
di Indonesia
Perkembangan pendidikan anak luar biasa di Indonesia
pada hakikatnya tidak oberbeda dari pendidikan ank luar biasa di Dunia. Menurut
Amin dan Dwijosumarto (1979) tempat khusu anak buta, lumpuh, miskin, dan
sebagainya didirikan untuk pertama kalinya oleh raja-raj aJawa setelah masuknya
Agama Islam. Pendidikan formal pertama untuk anak tunanetra didirikan di
Bandung pad tahun 1901 dan disusul oleh sekolah untuk ank-anak Belanda ynag
tergolong tunagrahita pada tahun 1927. Pada tahun 1930 berdiri perkumpulan yang
mengusahakan pendidikan luar biasa untuk anak
tunarungu. Meskipun demikian, pada masa pendudukan Jepang, yaitu perang Dunia
II, usaha-usaha untuk mendirikan pendidikan luar biasa menjadi musnah.
Setelah Indonesia merdeka, Indonesia mendirikan
lembaga pendidikan guru khusus yang dipersiapkan untuk mengajar anak-anak luar biasa
yang disebut SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa). Pada decade enam
puluhan di IKIP dan Universitas mulai dibuka Jurusan Pendidikan Luar Biasa atau
Jurusan Pendidikan Khusus. Sejak munculnya SGPLB dan jurusan PLB maka banyak
bermunculan lembaga-lembaga pendidikan luar biasa bari di Indonesia. Dalam
melaksanakan wajib belajar bagi seluruh anak usia sekolah di Indonesia,
termasuk ank luar biasa, pemerintah telah menetapkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 002/0/1986, tanggal 4 Januari 1986 tntang
Pendidikan Terpadu. Dengan keputusan tersebut maka semua anak Indonesia usia
sekolah baik yang tergolong normal maupuan Luar biasa memperoleh kesempatan
yang sama untuk mengikuti pendidikan di Sekolah. Berdasarkan angka-angka
Statistik dari Direktorat Pendidikan Dasar tahun 1991/1992 menunjukkan bahwa
jumlah sekolah pendidikan luar biasa adalah: SLB (Sekolah Luar Biasa) Negeri
sebanyak 23 unit; SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) Negeri berjumlah 209 unit;
SLB SWASTAada 502 unit; pendidikan terpadu sebanyak 85 unit SLB Pembina Tingkat
Nasional, tig aunit; dan SLB Pembina Tingkat Propinsi sebanyak lima unit.
Sekolah luar biasa
Tingkat Nasional A (untuk tunanetra) terdapat di Jakarta , SLB Pembina
Tingkatan Nasional B (untuk tunarungu) di Denpasar, SLB Pembina Tingkat
Nasional C (untuk tunagrahita) di Malang, SLB Pembina Tingkat Propinsi A Di
Pemalang, SLB Tingkat Propinsi B di Sumedang , SLB tingkat propinsi D di Ujung
Pandang, dan SLB Pembina Tingkat Propinsi E di Medan. Hingga akhir tahun 1991 di
seluruh Indonesia terdapat 525 Sekolah Luar Biasa untuk berbagai jenis kelainan
yang tersebar di 27 Propinsi dengan jumlah sekitar 33.306 anak dan jumlah guru
8.475 orang (Direktorat Pendidikan Dasar Depdikbud, 1992).
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 bentuk satuan pendidikan bagi anak
luar biasa mengalami perubahan menjadi; Sekolah Luar Biasa (SDLB), Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), Sekolah Menengah Luar Biasa
(SMLB), dan bentuk lain yang diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Perubahan bentuk
satuan pendidikan tersebut mempunyai implikasi yang sangat penting karena
betapun terbatasnya kapasitas anak luar biasa yang tergolong penyandang
ketunaan, ia tetap dapat mengikuti pendidikan tingkat SLTP dan SLTA, meskipun
dengan kurikulum yang berbeda dengan ynag digunakan ank normal. Kurikulum
SLTPLB dan SMLB lebih ditekankan pada penguasaan suatu jenis pekerjaan,
sedangkan kurikulum SLTP dan SMU bagi anak normal memiliki keseimbangan antara
penguasaan lapangan pekerjaan tertentu dengan kemungkinan melanjutkan ke
perguruan tinggi.
Sejak dekade tahun
sembilan puluhan mulai dirasakan adanya kecenderungan untuk memberikan
pelayanan pendidikan bukan hanya pada anak luar biasa yang tergolong menyandang
ketunaan tetapi juga yang berkesulitan belajar dan yang tergolong berbakat.
Beberapa sekolah di kota-kota besar ada yang sudah memulai dengan
program-program pelayanan pengajaran remedial bagi anak berkesulitan belajar
dan beberapa sekolah ada yang sudah mulai memberikan pelayanan pendidikan bagi
anak berbakat. Dengan berdirinya SMA Taruna Nusantara di Megelang, meskipun
tidak dengan nama pendidikan luar biasa, era pendidikan luar biasa bagi anak
berbakat di Indonesia pada hakikatnyatelah dimulai. Dengan diselengarakan Lokakarya
Pendidikan Teerpadu Bagi Anak Berkelainan oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan
Menengah di Jakarta pada tanggal 21-30 Oktober 1992, meskipun masih terbatas
bagi anak tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, era pendidikan yang
mengintegrasikan anak-anak berkelainan dengan anak normal (mainstreaming) pada
hakikatnya jug atelah dimulai. Pada tahun 1992 jurusan –jurusan PLB di IKIP dan
universitas jug asudah mulai membuka bidang-bidangkekhususan baru di samping
bidang kekhususan yand telah lazim. Bidang kekhususan yang telah lazim
diselenggarakan adalah kekhususan untuk tunanetra, tunarungu,tunagrahita,
tunadaksa, dan tunalaras. Sedangkan bidang kekhususan yang baru dimulai
dikembangkan adalah bidang pendidikan bagi anak berbakat dan pendidikan bagi
anak yang berjesulita belajar.
D.
Kecenderungan
Baru Pendidikan Anak Luar Biasa
Berikut ini akan dikemukakan beberapa kecenderungan
yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa dewasa ini.
1. Pendidikan
Inklusif
Inklusi
adalah suatu sistem yang dapat saling membagi diantara setiap anggota sekolah
sebagai masyarakat belajar – guru, administrator, staf lainnya, siswa, dan
orang tua – tentang tanggung jawabnya untuk mendidik semua siswa sehingga
mereka dapat mencapai potensinya semaksimal mungkin. Meskipun lokasi fisik
siswa di sekolah atau kelas ada dalam satu dimensi inklusifitas, inklusi bukan
tentang dimana siswa duduk seperti halnya teman sekelasnya yang menerima mereka
untuk sama-sama mendapatkan akses kuriklum dan menerima keanekaragaman siswa,
di dalam sekolah sekarang dikatakan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok
untuk semua anak. Inklusi meliputi para siswa yang gifted dan berbakat, mereka
yang mempunyai resiko kegagalan karena lingkungan hidup mereka, mereka yang
berkelainan, dan mereka yang mempunyai prestasi rata-rata. Inklusi adalah suatu
sistem yang dipercaya dapat terwujud apabila ada pemahaman dan penerimaan dari
semua staf.
Beberapa
ahli mengatakan bahwa hanya dengan cara ini sekolah dapat menunjukkan sistem
inklusif dimana seluruh siswa dapat berpartisipasi penuh dalam pendidikan umum.
Menurut mereka tanpa dengan pendekatan ini sebagian anak akan terpisah
selama-lamanya karena mereka tidak dapat terpenuhi standar akademik sebagaimana
mestinya. Mereka juga mengemukakan, bahwa para siswa berada di sekolah baik
mengikuti kurikulum eksplisit maupun implisit. Kurikulum eksplisit adalah
kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya yang tidak dapat diakses
oleh para siswa yang berkelainan, sedangkan kurikulum implisit adalah kurikulum
yang termasuk di dalamnya interaksi sosial dan berbagai keterampilan yang
sangat baik dipelajari bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Para ahli
meyakinkan bahwa dengan guru yang kompeten, dukungan dan layanan yang
mencukupi, serta komitmen yang kuat dapat menjamin setiap siswa berhasil dengan
tidak memerlukan tempat pendidikan yang terpisah. Para ahli tersebut
menyarankan bahwa banyak siswa yang memerlukan kelas dengan ukuran lebih kecil,
metoda pembelajaran khusus, dan untuk sebagian siswa perlu adanya kurikulum
yang lebih menekankan pada keterampilan hidup yang dapat diberikan dalam kelas
khusus untuk sebagian atau pun seluruh waktu sekolah.
2.
Akuntabilitas dan Aksesibilitas
Pembelajaran
Akuntabilitas
untuk pembelajaran dewasa ini juga dilihat dari adanya akses anak dengan
kelainan terhadap kurikulum yang dipergunakan oleh anak-anak pada umumnya.
Meskipun pada waktu dulu, para ahli umumnya berpikiran bahwa kebanyakan siswa
dengan kelainan hendaknya mempunyai kurikulum yang khusus dirancang sesuai
dengan kebutuhan khusus mereka, tetapi pada umumnya sekarang mereka mendukung
bahwa semua siswa dengan kelainan sedekat mungkin hendaknya belajar dari
kurikulum yang sama dipergunakan oleh siswa yang lain dengan melakukan
penyesuaian yang diperlukan. Hal tersebut merupakan suatu keseimbangan yang
logis dalam prinsip-prinsip inklusi: Jika tujuan pendidikan bagi siswa adalah
keberhasilan usia dewasa nanti untuk dapat hidup, bekerja, dan bermain di dalam
masyarakat kita, maka cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan
meyakinkan bahwa seluruh anak mestinya mempunyai akses yang sama terhadap
belajar awal secepat mungkin ketika mereka masuk sekolah. Apabila kurikulum
tidak sama, siswa dengan kelainan ditempatkan secara kurang menguntungkan.
Pendekatan pembelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang meyakinkan bahwa siswa dengan kelainan mempunyai akses pada kurikulum disebut desain universal untuk pembelajaran. Desain universal ini berasal dari arsitektur, dimana para ahli menyadari bahwa jika pembangunan akses untuk para penyandang cacat dilakukan setelah selesainya bangunan, hasilnya biasanya elevator atau ramp yang jelek. Tetapi ketika akses tersebut diintegrasikan dalam rancangan bangunan sejak awal, maka hal tersebut akan menjadi bagian yang sama dari struktur secara keseluruhan, malahan mungkin akan memperindah bangunan atau bisa dinikmati oleh masyarakat lain pada umumnya. Penerapannya dalam pendidikan, desain universal ini, adalah guru hendaknya merancang pembelajaran sejak dini untuk memenuhi tingkat keanekaragaman siswa daripada membuat penyesuaian setelah mereka melakukan pembelajaran. Apabila para guru melakukan hal ini, mereka biasanya akan menemukan bahwa para siswa yang mempunyai kekhususan dan memerlukan pembelajaran khusus dapat memperoleh keuntungan dari upaya yang mereka lakukan.
Pendekatan pembelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang meyakinkan bahwa siswa dengan kelainan mempunyai akses pada kurikulum disebut desain universal untuk pembelajaran. Desain universal ini berasal dari arsitektur, dimana para ahli menyadari bahwa jika pembangunan akses untuk para penyandang cacat dilakukan setelah selesainya bangunan, hasilnya biasanya elevator atau ramp yang jelek. Tetapi ketika akses tersebut diintegrasikan dalam rancangan bangunan sejak awal, maka hal tersebut akan menjadi bagian yang sama dari struktur secara keseluruhan, malahan mungkin akan memperindah bangunan atau bisa dinikmati oleh masyarakat lain pada umumnya. Penerapannya dalam pendidikan, desain universal ini, adalah guru hendaknya merancang pembelajaran sejak dini untuk memenuhi tingkat keanekaragaman siswa daripada membuat penyesuaian setelah mereka melakukan pembelajaran. Apabila para guru melakukan hal ini, mereka biasanya akan menemukan bahwa para siswa yang mempunyai kekhususan dan memerlukan pembelajaran khusus dapat memperoleh keuntungan dari upaya yang mereka lakukan.
Meskipun
desain universal ini dapat dipergunakan dalam kebutuhan pembelajaran khusus
bagi siswa berkelainan dalam seting sekolah umum, tetapi pendidikan luar biasa
juga mempunyai pembelajaran khusus sebagai ciri, dan siswa memerlukannya.
Misalnya, banyak pandangan terhadap bagaimana siswa belajar membaca. Bagi siswa
dengan kesulitan yang bergelut dengan membaca, para ahli dengan jelas telah
menemukan bahwa anak-anak seperti ini sering mempunyai masalah dalam mendengar
pemisahan ucapan kata-kata dan membeda-bedakan kata-kata tersebut. Jadi
penekanan bagi anak seperti ini adalah dalam penggunaan pendekatan membaca
dalam seting satu lawan satu atau kelompok kecil yang intensif.
Dimensi
lain dari akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran adalah penggunaan alat
bantu teknologi, yang merupakan alat dan layanan yang dapat meningkatkan
kemampuan fungsi siswa dengan kelainan. Ketika anda bekerja di sekolah, anda
mungkin akan melihat siswa menggunakan alat bantu komunikasi khusus, bola yang
bisa berbunyi bagi siswa tunanetra, atau alat-alat yang lainnya. Alat bantu
teknologi tidak selalu berupa elektronik, tetapi juga termasuk di dalamnya
membantu siswa dengan alat pemegang pensil khusus sehingga dia bisa menulis
secara lebih mudah, gambar-gambar buatan guru yang dapat ditempelkan di jadwal
untuk menunjukan kegiatan siswa yang akan dilakukan selama satu hari itu, dan
sebagainya.
3.
Dukungan Perilaku yang Positif
Beberapa
anak dengan kelainan mempunyai perilaku yang mengganggu atau tidak berperilaku
secara sesuai dengan teman-teman pada umumnya di dalam kelas. Misalnya seorang
siswa yang mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang benar untuk
mengatakan maksudnya meminta bantuan, mungkin akan mengekspresikan rasa
frustrasinya dengan mendorong temannya. Dulu perilaku tersebut dianggap sebagai
suatu bentuk konsekuensi negatif. Kenyataan dewasa ini sangat berbeda. Sekarang
para ahli mempergunakan dukungan perilaku positif yang terintegrasi dalam
perencanaan intervensi perilaku. Mereka melihat perilaku siswa dalam konteks
situasi dimana hal itu terjadi, secara hati-hati menentukan apa yang terjadi
dalam rangka merancang cara untuk mengurangi perilaku negatif, meningkatkan
perilaku yang diinginkan, dan membantu siswa memiliki kualitas akademik dan
sosial yang lebih baik dalam kehidupannya. Di dalam contoh dimana seorang siswa
mendorong temannya, para ahli akan menganalisis masalah serius tersebut, dan
memahaminya dengan baik, kemudian mereka akan menentukan intervensinya. Mereka
mungkin akan mencoba mencegah rasa frustrasi siswa dengan memberikan penugasan
yang tidak terlalu sulit atau dengan kata lain membantu siswa untuk terhindar
dari situasi frustrasi. Mereka juga mungkin mengajarkan kepada para siswa cara
terbaik untuk mengekspresikan rasa frustrasinya, mungkin dengan mengajarkan
kepada siswa untuk mengatakan „Tolong saya....“ dan memberikan penghargaan
kepada siswa untuk perilaku yang sesuai atau dapat diterima. Mereka juga
bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam merancang program perilaku siswa,
sehingga ada konsistensi antara pendekatan di sekolah dan di rumah.
4.
Kolaborasi
Jika
anda berpikir konsep inklusi sebagai penciptaan masyarakat pembelajar, dimana
pembelajaran dirancang secara khusus dan merespon kebutuhan siswa, anda mungkin
akan memperkirakan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif akan bergantung pada
pekerjaan guru dan orang tua secara bersamaan. Tidaklah mengejutkan, bahwa
kolaborasi menjadi suatu dimensi yang krusial dalam merencanakan, melaksanakan,
dan mengevaluasi pendidikan luar biasa serta layanan lainnya. Kolaborasi
berhubungan dengan cara dimana para ahli berhubungan dengan yang lainnya dan
orang tua atau anggota keluarga seperti mereka bekerja bersama-sama dalam
mendidik siswa dengan kelainan. Kolaborasi bukanlah sebagai tujuan, tetapi
sebagai alat untuk meningkatkan tujuan yang akan dicapai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Anak
luar
biasa sebagai anak yang menyimpan dari rata-rata normal dalam ; karakteristik
mental, kemampuan sensoris, karakteristik neurotic atau fisik, perilaku social
atau kemampuan berkomunikasi, dan gangguan dari variable tersebut (campuran
dari hal tersebut).
2.
Ortopedagogik diartikan sebagai
pendidikan yang bersifat meluruskan, memperbaiki, menyembuhkan, atau menormalkan
anak-anak berkelaian atau anak luar biasa. Dengan kata lain ortopedagogik
adalah ilmu pendidikan bagi anak luar biasa.
3.
Ada empat landasan yang menjadi bahasan
pada bagian ini, yaitu; (a) landasan idiil atau filosofis, (b) landasan yuridis
formal, (c) landasan religi, dan (d) landasan empiric.
4.
Perkembangan pendidikan bagi anak luar
biasa yang terbagi atas dua bahagian, yaitu perkembangan di dunia dan
perkembangan di Indonesia.
5.
Kecenderungan yang secara signifikan
mempengaruhi pendidikan luar biasa terdiri atas; (a) pendidikan inklusi, (b) akuntabilitas
dan aksesibilitas pembelajaran, (c) dukungan perilaku yang positif, dan (d)
kolaborasi.
B. Saran
Sehubungan
dengan kesimpulan makalah diatas, maka diajukan saran sebagai berikut:
1.
Sebagai
calon pendidik, mahasiswa perlu mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmu yang
berkaitan dengan pendidikan bagi anak luar biasa.
2.
Sebagai acuan dalam meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya terhadap
anak luar biasa sebagai bekal dirinya dalam menghadapi tantangan zaman.
3.
Mendukung dan berpartisipasi dalam
kegiatan Pendidikan anak luar biasa; dan sebagai acuan yang baik untuk para
siswanya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Sistem Pendidikan Anak Luar Biasa. (http://teguhekosaputro.wordpress.com/2007/12/03/9/). diakses tanggal 20 Desember 2011.
Anonim.
2009. Pendidikan Anak Luar Biasa. (http://www.ditplb.or.id/2006/index.php?menu=profile&pro=181). diakses tanggal 20 Desember 2011.
Anonim. 2010. Pendidikan Anak Tunagrahita. (http://larasi.com/pendidikan/tunagrahita-tidak-selalu-idiot.lala). diakses tanggal 20 Desember 2011.
Anonim. 2010. Pendidikan Inklusi (Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus). (http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/115-pendidikan-inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus). diakses tanggal 20 Desember 2011.
Daruma, A.Razak, dkk. Profesi Keguruan. Makassar: Penernbit
FIP-UNM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar